Minggu, 14 April 2013

Materi BAB I Budaya Demokrasi


Nama               : Agus Hariyanto
NIM                : A 220110120
Kelas               : 6E

Setandar Kompetensi
1.1.Menganalisis budaya politik di indonesia
Kompetensi Dasar
1.1.Mendeskripsikan pengertian budaya politik
1.2.Menganalisis tipe-tipe budaya politik yang berkembang dalam masyarakat indonesia
1.3.Mendeskrepsikan pentingnya sosialisasi pengembangan budaya politik
1.4.Menampilkan peran serta budaya politik partisipan

BUDAYA POLITIK DI INDONESIA
Salah satu unsur budaya nasional adalah budaya politik. Budaya politik suatu bangsa merupakan seperangkat pengetahuan, keyakinan, sikap, perasaan, dan penilaian warga negara terhadap sistem politik serta sikap terhadap perannya sendiri dalam kehidupan politik bangsa itu. Budaya politik yang sesuai dengan kehidupan politik bangsa akan menciptakan kematangan budaya politik. Berikut akan diuraikan mengenai pengertian budaya politik, tipe-tipe budaya politik, pentingnya sosialisasi politik dalam pengembangan budaya politik, dan peran serta budaya politik partisipan.

A.     Pengertian Budaya Politik
Budaya politik dapat dipandang sebagai landasan sistem politik yang memberi jiwa atau warna pada sistem politik atau yang memberi arah pada peran-peran politik yang dilakukan oleh struktur politik. Banyak para sarjana politik yang telah berupaya merumuskan makna budaya politik. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.
1.      Gabriel Almond dan Sidney Verba (1966) Budaya politik adalah sikap orientasi warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu
2.      Kay Lawson (1988) Budaya politik adalah terdapatnya satu perangkat yang meliputi seluruh nilai politik yang terdapat di seluruh bangsa.
3.      Larry Diamond (2003) Budaya politik adalah keyakinan, sikap, nilai, ide-ide, sentimen, dan evaluasi suatu masyarakat tentang sistem politik negeri mereka dan peran individu masingmasing dalam sistem itu.
4.      Austin Ranney (1996) Budaya politik adalah seperangkat pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama, sebuah orientasi terhadap objek-objek politik.
5.       Alan R. Ball (1963) Budaya politik adalah susunan yang terdiri atas sikap, kepercayaan, emosi, dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.
6.      Mochtar Masoed dan Colin Mac Andrews (2000) Budaya politik adalah sikap dan orientasi warga suatu negara terhadap kehidupan pemerintah negara dan politiknya.
Dari berbagai pendapat di atas, dapat ditarik simpulan sebagai berikut.
a.       Budaya politik tidak menekankan persoalan pada perilaku aktual warga negara yang berupa tindakan, melainkan lebih menekankan persoalan pada perilaku nonaktual yang berupa orientasi, misalnya sikap, nilai, pengetahuan, kepercayaan, dan penilaian warga terhadap suatu objek politik.
b.      Budaya politik menggambarkan orientasi politik warga negara dengan jumlah besar bukan perseorangan.
c.        Hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik dan objek pembicaraan warga negara adalah kehidupan politik pada umumnya.
Budaya politik merupakan persepsi warga negara yang diaktualisasikan dalam pola sikap terhadap masalah politik yang terjadi sehingga berdampak terhadap pembentukan struktur dan proses kegiatan politik masyarakat maupun pemerintahan karena sistem politik merupakan hubungan antara manusia yang menyangkut soal kekuasaan, aturan, dan wewenang. Negara Indonesia menganut sistem politik Demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila berdasarkan kerakyatan yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila lainnya. Demokrasi Pancasila merupakan perwujudan dan pelaksanaan prinsipprinsip demokrasi yang berdasarkan atas UUD 1945.

B.      Tipe-Tipe Budaya Politik
Budaya politik menunjuk pada orientasi dari tingkah laku individu/ masyarakat terhadap sistem politik. Budaya politik dapat digolongkan ke dalam tiga tipe, yakni sebagai berikut:
1.   Budaya Politik Parokial
Budaya politik ini terbatas pada satu wilayah atau lingkup yang kecil. Dalam budaya politik parokial, orientasi politik warga terhadap keseluruhan objek politik dapat dikatakan rendah karena anggota masyarakat cenderung tidak menaruh minat terhadap objek-objek politik yang luas, kecuali dalam batas tertentu di tempat mereka tinggal.
Ciri-ciri budaya politik parokial adalah sebagai berikut.
a.        Budaya politik ini berlangsung dalam masyarakat yang masih tradisional dan sederhana.
b.      Belum terlihat peran-peran politik yang khusus; peran politik dilakukan
c.       serempak bersamaan dengan peran ekonomi, keagamaan, dan lain-lain.
d.      Kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan atau kekuasaan dalam masyarakatnya cenderung rendah.
e.       Warga cenderung tidak menaruh minat terhadap objek-objek politik yang luas, kecuali yang ada di sekitarnya.
f.       Warga tidak banyak berharap atau tidak memiliki harapan-harapan tertentu dari sistem politik tempat ia berada.
2.   Budaya Politik Subjek
Menurut Mochtar Masoed dan Colin Mac Andrews (2000), budaya politik subjek menunjuk pada orang-orang yang secara pasif patuh pada pejabat-pejabat pemerintahan dan undang-undang, tetapi tidak melibatkan diri dalam politik ataupun memberikan suara dalam pemilihan.
Ciri-ciri budaya politik subjek adalah sebagai berikut.
a.       Warga menyadari sepenuhnya akan otoritasi pemerintah.
b.       Tidak banyak warga yang memberi masukan dan tuntutan kepada pemerintah, tetapi mereka cukup puas untuk menerima apa yang berasal dari pemerintah.
c.       Warga bersikap menerima saja putusan yang dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak boleh dikoreksi, apalagi ditentang.
d.      Sikap warga sebagai aktor politik adalah pasif; artinya warga tidak mampu berbuat banyak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik.
e.       Warga menaruh kesadaran, minat, dan perhatian terhadap sistem politik pada umumnya dan terutama terhadap objek politik output, sedangkan kesadarannya terhadap input dan kesadarannya sebagai aktor politik masih rendah.
3.   Budaya Politik Partisipan
Menurut pendapat Almond dan Verba (1966), budaya politik partisipan adalah suatu bentuk budaya yang berprinsip bahwa anggota masyarakat diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem sebagai keseluruhan dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif. Dalam budaya politik partisipan, orientasi politik warga terhadap keseluruhan objek politik, baik umum, input dan output, maupun pribadinya dapat dikatakan tinggi. Ciri-ciri dari budaya politik partisipan adalah sebagai berikut.
a.       Warga menyadari akan hak dan tanggung jawabnya dan mampu mempergunakan hak itu serta menanggung kewajibannya.
b.      Warga tidak menerima begitu saja keadaan, tunduk pada keadaan, berdisiplin tetapi dapat menilai dengan penuh kesadaran semua objek politik, baik keseluruhan, input, output maupun posisi dirinya sendiri.
c.       Anggota masyarakat sangat partisipatif terhadap semua objek politik, baik menerima maupun menolak suatu objek politik.
d.      Masyarakat menyadari bahwa ia adalah warga negara yang aktif dan berperan sebagai aktivis.
e.       Kehidupan politik dianggap sebagai sarana transaksi, seperti halnya penjual dan pembeli. Warga dapat menerima berdasarkan kesadaran, tetapi juga mampu menolak berdasarkan penilaiannya sendiri.
Bagaimana dengan budaya politik di Indonesia? Ada beragam pandangan  mengenai budaya politik Indonesia. Keragaman pendapat ini dimungkinkan karena persoalan budaya politik itu dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Rusadi Kartaprawira dalam bukunya Sistem Politik di Indonesia menyatakan adanya ciri dari budaya politik Indonesia, antara lain adalah sebagai berikut.
a.       Sifat ikatan primordial masih kuat yang dikenali melalui indikator yang berupa sentimen kedaerahan, kesukuan, dan keagamaan.
b.      Budaya politik Indonesia bersifat parokial subjek di satu pihak dan partisipasi di lain pihak.
c.       Ada subbudaya yang banyak dan beraneka ragam. Hal ini terjadi karena Indonesia memiliki banyak suku yang masing-masing memiliki budaya sendiri-sendiri.
d.      Kecenderungan budaya politik Indonesia masih mengukuhi sifat paternalisme dan sifat patrimonial. Sebagai indikator, misalnya adalah perilaku menyenangkan atasan.
Affan Gaffar (1999) dalam bukunya Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi mengatakan bahwa budaya politik Indonesia memiliki tiga ciri dominan yaitu sebagai berikut:

1.      Hierarki yang tegas
Sebagian besar masyarakat Indonesia bersifat hierarkis yang menunjukkan adanya pembedaan atau tingkatan atas dan bawah. Stratifikasi sosial yanghierarkis ini tampak dari adanya pemilahan tegas antara penguasa dan rakyat kebanyakan. Masing-masing terpisah melalui tatanan hierarkis yang sangat ketat. Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antara lain tercermin pada cara penguasa memandang dirinya dan rakyatnya.
Mereka cenderung merendahkan rakyatnya. Karena penguasa sangat baik, pemurah, dan pelindung, sudah seharusnya rakyat patuh, tunduk, setia, dan taat kepada penguasa negara. Bentuk negatif lainnya dapat dilihat dalam soal kebijakan publik. Penguasa membentuk semua agenda publik, termasuk merumuskan kebijakan publik, sedangkan rakyat cenderung disisihkan dari proses politik. Rakyat tidak diajak berdialog dan kurang didengar aspirasinya.

2.      Kecenderungan patronage
Kecenderungan patronage, adalah kecenderungan pembentukan pola hubungan patronage, baik di kalangan penguasa dan masyarakat maupun pola hubungan patron-client. Pola hubungan ini bersifat individual. Antara dua individu, yaitu patron dan client, terjadi interaksi timbal balik dengan mempertukarkan sumber daya yang dimiliki masing-masing. Patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan, kedudukan atau jabatan, perlindungan, perhatian dan kasih sayang, bahkan materi. Kemudian, client memiliki sumber daya berupa dukungan, tenaga, dan kesetiaan.
Menurut Yahya Muhaimin, dalam sistem bapakisme (hubungan bapak-anak), ”bapak” (patron) dipandang sebagai tumpuan dan sumber pemenuhan kebutuhan material dan bahkan spiritual serta pelepasan kebutuhan emosional ”anak” (client). Sebaliknya, para anak buah dijadikan tulang punggung bapak.

3.      Kecenderungan Neo-patrimonialistik
Dikatakan neo-patrimonalistik karena negara memiliki atribut atau kelengkapan yang sudah modern dan rasional, tetapi juga masih memperhatikan atribut yang patrimonial. Negara masih dianggap milik pribadi atau kelompok pribadi sehingga diperlakukan layaknya sebuah keluarga.
Menurut Max Weber, dalam negara yang patrimonalistik penyelenggaraan pemerintah berada di bawah kontrol langsung pimpinan negara. Adapun menurut Affan Gaffar, negara patrimonalistik memiliki sejumlah karakteristik sebagai berikut.
a.       Penguasa politik seringkali mengaburkan antara kepentingan umum dan kepentingan publik.
b.      Rule of law lebih bersifat sekunder apabila dibandingkan dengan kekuasaan penguasa.
c.       Kebijakan seringkali bersifat partikularistik daripada bersifat universalistik.
d.      Kecenderungan untuk mempertukarkan sumber daya yang dimiliki seorang penguasa kepada teman-temannya lebih besar.
Selanjutnya, manakah sesungguhnya budaya politik Indonesia? Karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen atas dasar suku, daerah, dan agama maka di Indonesia terdapat banyak subbudaya politik. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berprinsip Bhinneka Tunggal Ika sehingga semua bentuk subbudaya yang ada di Indonesia adalah budaya politik nasional. Salah satu aspek penting dalam sistem politik adalah budaya politik yang mencerminkan faktor subjektif. Budaya politik mengutamakan segi psikologis dari suatu sistem politik. Demokrasi Pancasila adalah suatu paham demokrasi yang bersumber pada pandangan atau filsafat hidup bangsa Indonesia yang digali dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Demokrasi Pancasila pada hakikatnya adalah sarana atau alat bagi bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan Negara sebagaimana telah dirumuskan di dalam Pembukaan UUD 1945. Budaya Politik Pancasila akan mengarahkan keseluruhan dari pandangan-pandangan politik, seperti norma-norma, pola-pola orientasi seperti politik dan pandangan hidup pada umumnya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Adapun sistem politik Indonesia sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 1 ayat (2) adalah sistem politik demokrasi, yaitu kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Budaya politik yang sesuai, selaras, dan sebangun dengan sistem.



C.     Pentingnya Sosialisasi Politik dalam Pengembanga Budaya Politik
1.   Pengertian Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat dalam menjalani kehidupan politik. Proses sosialisasi berlangsung seumur hidup yang diperoleh secara sengaja melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal maupun secara tidak sengaja melalui kontak dan pengalaman sehari-hari, baik dalam kehidupan keluarga dan tetangga maupun dalam kehidupan masyarakat. Berbagai pengertian dan batasan mengenai sosialisasi politik telah dikemukakan oleh para sarjana terkemuka, di antaranya adalah sebagai berikut.
a.      Gabriel Almond (2000)
Sosialisasi politik menunjuk pada proses tempat sikap-sikap dan pola tingkah laku politik diperoleh atau dibentuk. Sosialisasi politik juga merupakan sarana bagi suatu generasi untuk menyampaikan patokan-patokan politik dan keyakinan-keyakinan politik pada generasi berikutnya.
b.      Ramlan Surbakti (1992)
Sosialisasi politik merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik anggota masyarakat.
c.       Kenneth P. Langton (1969)
Sosialisasi politik adalah cara masyarakat meneruskan kebudayaan politiknya.
d.      d. Richard E. Dawson (1992)
Sosialisasi politik dapat dipandang sebagai pewarisan pengetahuan, nilai-nilai, dan pandangan-pandangan politik dari orang tua, guru, dan sarana-sarana sosialisasi lainnya kepada warga negara baru dan mereka yang menginjak dewasa.
Pada hakikatnya, sosialisasi politik adalah suatu proses untuk memasyarakatkan nilai-nilai atau budaya politik ke dalam suatu masyarakat. Beberapa aspek penting dari sosialisasi politik adalah sebagai berikut.
1.    Sosialisasi politik merupakan proses belajar dari pengalaman.
2.    Sosialisasi politik merupakan prakondisi bagi aktivitas sosial politik.
3.     Sosialisasi politik berlangsung tidak hanya pada usia dini dan remaja, tetapi tetap berlanjut sepanjang kehidupan.
4.    Sosialisasi politik memberikan hasil belajar yang berupa informasi, pengetahuan,
sikap, motif, nilai-nilai yang tidak hanya berkaitan dengan individu tetapi juga dengan kelompok. Menurut Ramlan Surbakti, sosialisasi politik dibagi dua, yaitu pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pendidikan politik merupakan proses dialogis di antara pemberi dan penerima pesan. Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan kursus, latihan kepemimpinan, diskusi, atau keikutsertaan dalam berbagai
pretemuan. Indoktrinasi politik merupakan proses sepihak ketika penguasa memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai, norma, dan simbol yang dianggap oleh pihak yang berkuasa sebagai ideal dan baik


2.    Tipe-Tipe Sosialisasi Politik
Tipe sosialisasi yang dimaksud adalah bagaimana cara atau mekanisme sosialisasi politik berlangsung. Ada dua tipe sosialisasi politik, yakni sebagai berikut.
a.       Sosialisasi Politik Tidak Langsung
Sosialisasi politik tidak langsung pada mulanya berorientasi pada hal-hal yang bukan politik, kemudian warga dipengaruhi untuk memiliki orientasi politik. Sosialisasi politik tidak langsung dapat dilakukan melalui cara sebagai berikut.
1)        Magang
Magang merupakan bentuk aktivitas sebagai sarana belajar. Magang di tempat-tempat tertentu atau organisasi nonpolitik dapat memengaruhi orang ketika berhubungan dengan politik.
2)        Pengalihan hubungan antarindividu
Hubungan antarindividu yang pada mulanya tidak berkaitan dengan politik, akhirnya individu akan terpengaruh ketika berhubungan atau berorientasi dengan kehidupan politik. Contohnya, hubungan anak dengan orang tua nantinya akan membentuk orientasi anak ketika ia bertemu atau berhubungan dengan pihak luar.
3)        Generalisasi
Menurut tipe generalisasi, kepercayaan dan nilai-nilai yang diyakini yang sebenarnya tidak berkaitan dengan politik dapat memengaruhi orang untuk berorientasi pada objek politik tertentu.
b.      Sosialisasi Politik Langsung
Pada tipe ini, sosialisasi politik berlangsung dalam satu tahap saja, yaitu bahwa hal-hal yang diorientasikan dan ditransmisikan adalah hal-hal yang bersifat politik. Sosialisasi politik langsung dapat dilakukan melalui beberapa cara, yakni sebagai berikut.
1.        Pengalaman politik
Pengalaman politik adalah belajar langsung dalam kegiatan-kegiatan politik atau kegiatan yang sifatnya publik. Contohnya, adalah keterlibatan langsung seseorang dalam kegiatan partai politik.
2.        Pendidikan politik
Sosialisasi politik melalui pendidikan politik adalah upaya yang secara sadar dan sengaja serta direncanakan untuk menyampaikan, menanamkan, dan membelajarkan anak untuk memiliki orientasi-orientasi politik tertentu. Pendidikan politik dapat dilakukan melalui diskusi politik, kegiatan partai politik, dan pendidikan di sekolah.
3.        Peniruan perilaku
Proses menyerap atau mendapatkan orientasi politik dengan cara meniru orang lain. Contohnya, seorang siswa akan mendukung calon presiden tertentu karena kakaknya juga mendukung calon presiden tersebut.
4.        Sosialisasi antisipatori
Sosialisasi politik dengan cara belajar bersikap dan berperilaku seperti tokoh politik yang diidealkan. Misalnya, seorang anak belajar bersikap dan cara berbicara seperti presiden karena ia memang mengidealkan peran itu.


3.    Agen atau Sarana Sosialisasi Politik
Menurut Gabriel A. Almond (2000), sosialisasi politik dapat membentuk dan mentransmisikan kebudayaan politik suatu bangsa. Sosialisasi politik juga dapat memelihara kebudayaan politik suatu bangsa dalam bentuk penyampaian kebudayaan itu dari generasi tua kepada generasi muda, serta dapat pula mengubah kebudayaan politik. Untuk dapat menyampaikan atau mentransmisikan pandangan, nilai, sikap, dan keyakinan-keyakinan politik diperlukan sarana atau agen-agen sosialisasi politik. Terdapat enam macam sarana atau agen sosialisasi, yaitu keluarga, kelompok bergaul atau bermain, sekolah, tempat kerja, media massa, dan kontak politik langsung.
a.       Keluarga
Keluarga merupakan lembaga pertama yang dijumpai oleh individu. Keluarga juga merupakan sarana bagi sosialisasi politik yang sangat strategis terutama untuk pembentukan kepribadian dasar serta sikap-sikap sosial anak yang nanti berpengaruh untuk orientasi politik. Pengalaman berpartisipasi dalam pembuatan keputusan keluarga dapat meningkatkan kompetensi anak. Pengalaman itu dapat juga memberi kecakapan-kecakapan untuk melakukan interaksi politik.
Keluarga memiliki peran penting dalam sosialisasi politik karena ada dua alasan, yakni sebagai berikut.
1.      Hubungan yang terjadi di keluarga merupakan hubungan antar individu yang paling dekat dan memiliki ikatan yang erat sehingga efektif untuk menanamkan sikap dan nilai-nilai
2.       Keluarga merupakan lembaga yang pertama dan utama untuk menanamkan kepribadian anak sejak awal.
b.      Kelompok Pergaulan
Kelompok pergaulan mampu menjadi sarana sosialisasi politik yang efektif setelah anak keluar dari lingkungan keluarga. Dalam kelompok pergaulan, seseorang akan melakukan tindakan tertentu karena teman-temannya di dalam kelompoknya melakukan tindakan tersebut. Kelompok pergaulan menyosialisasikan anggota-anggotanya dengan cara mendorong atau mendesak mereka untuk menyesuaikan diri terhadap sikapsikap atau tingkah laku yang dianut oleh kelompok itu. Seseorang mungkin menjadi tertarik pada politik atau mulai mengikuti peristiwa-peristiwa politik karena teman-temannya berbuat demikian.
Lingkungan kelompok pergaulan lebih luas dan menjadikan mereka memiliki pengalaman bersama karena kegiatan yang mereka lakukan. Pengalaman yang dimiliki oleh seorang anak seringkali tidak diperoleh dari keluarga.
c.       Sekolah
Proses pendidikan politik sejak dari bangku sekolah merupakan usaha pemerintah memperkenalkan politik kepada masyarakat sejak dini. Sekolah berperan penting dalam sosialisasi politik. Sekolah memberi pengetahuan kepada para siswa tentang dunia politik dan peranan mereka di dalamnya. Sekolah juga memberikan pandangan yang lebih konkrit tentang lembaga-lembaga politik dan hubungan-hubungan politik. Anak belajar mengenal nilai, norma, dan atribut politik negaranya. Kegiatan sosialisasi politik melalui sekolah dapat berupa kegiatan intrakurikuler, upacara bendera, kegiatan ekstra, dan barisberbaris.
d.      Tempat Kerja
Organisasi-organisasi formal atau informal yang dibentuk atas dasar pekerjaan juga dapat memainkan peran sebagai agen sosialisasi politik. Organisasi-organisasi tersebut dapat berbentuk serikat kerja atau serikat buruh. Dengan menjadi anggota dan aktif dalam organisasi tersebut mereka mendapat sosialisasi politik yang efektif.
Bagi para anggotanya, organisasi-organisasi tersebut dapat berfungsi sebagai penyuluh di bidang politik. Secara tidak langsung, para anggota akan belajar tentang berorganisasi. Pengetahuan tersebut akan bermanfaat dan berpengaruh ketika mereka terjun ke dunia politik. Individu-individu yang mempunyai pengalaman berorganisasi umumnya tidak akan canggung apabila suatu ketika terjun ke dunia politik. Misalnya, melakukan pertemuan dengan pejabat soal UMR, bermusyawarah dengan pimpinan perusahaan soal kesejahteraan, bahkan kegiatan demonstrasi yang sesuai dengan aturan yang berlaku.
e.       Media Massa
Media massa bagi masyarakat modern memberikan informasi-informasi politik yang cepat dan dalam jangkauan yang luas. Dalam hal itulah, media mssa baik surat kabar, majalah, radio, televisi, maupun internet memegang peranan penting.
Media massa juga merupakan sarana ampuh untuk membentuk sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan politik. Melalui media massa, ideologi negara dapat ditanamkan kepada masyarakat, dan melalui media massa pula politik negara dapat diketahui oleh masyarakat luas.
f.        Kontak Politik Langsung
Kontak politik langsung dapat berupa pengalaman nyata yang dirasakan oleh seseorang dalam kehidupan politik. Betapa pun positifnya pandangan terhadap sistem politik yang telah ditanamkan oleh keluarga atau sekolah, apabila pengalaman nyata seseorang bersifat negatif, maka hal itu dapat mengubah pandangan politiknya.

D.     Menampilkan Peran Serta Budaya Politik Partisipatif
1.      Pengertian Budaya Politik Partisipatif
Partisipasi berarti ikut serta dalam suatu usaha bersama dengan orang lain untuk kepentingan bersama. Budaya politik partisipatif adalah salah satu jenis budaya politik bangsa. Budaya politik partisipatif sebangun atau selaras dengan sistem politik demokrasi. Ciri-ciri warga yang berbudaya politik partisipatif, antara lain adalah sebagai berikut.
a.       Warga memiliki kesadaran untuk taat pada peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan tanpa perasaan tertekan;
b.      Warga menyadari adanya kewenangan atau kekuasaan pemerintah;
c.       Warga memiliki kesadaran akan peran, hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya selaku warga negara;
d.      Warga memiliki pengetahuan dan kepekaan yang cukup terhadap masalah atau isu-isu mengenai kehidupan politik negaranya; dan  Warga mampu dan berani memberi masukan, gagasan, tuntutan, kritik terhadap pemerintah.
Menurut Ramlan Surbakti, partisipasi politik adalah keikutsertan warga dalam politik atau politik memengaruhi hidupnya. Ciri-ciri politik partisipatif adalah sebagai berikut.
a.       Kegiatan itu diarahkan untuk memengaruhi pemerintah selaku pembuat dan pelaksana putusan politik,
b.      Kegiatan yang berhasil (efektif) ataupun yang gagal memengaruhi pemerintah termasuk dalam konsep partisipasi politik.
c.        Kegiatan itu merupakan kegiatan atau perilaku luar individu warga negara biasa yang dapat diamati, bukan perilaku batiniah berupa sikap dan orientasi
d.      Kegiatan memengaruhi pemerintah dapat dilakukan baik melalui prosedur wajar (konvensional) dan tidak berupa kekerasan (nonviolence) seperti mengajukan petisi, mengikuti prosedur yang wajar dan tidak berupa kekerasan, seperti demonstrasi, mogok, serangan bersenjata.
e.       Kegiatan memengaruhi pemerintah dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung. Kegiatan langsung berarti individu memengaruhi pemerintah tanpa menggunakan perantara, sedangkan kegiatan tidak langsung berarti individu memengaruhi pemerintah melalui pihak lain yang dianggap mampu meyakinkan pemerintah.
f.       Partisipasi yang baik adalah partisipasi yang mendukung suksesnya usaha bersama. Kualifikasi partisipasi mendukung suksesnya usaha bersama. Kualifikasi partisipasi yang baik adalah positif, kreatif, realistis, kritis-korektif-konstruktif.
·         Partisipasi positif merupakan partisipasi yang mendukung kelancaran usaha bersama untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
·         Partisipasi kreatif adalah keterlibatan yang berdaya cipta, tidak hanya mengikut begitu saja suatu kegiatan yang direncanakan pihak lain, tidak hanya melaksanakan instruksi atasan, melainkan memikirkan sesuatu yang baru.
·         Partisipasi realistis berarti keikutsertaan dengan memperhitungkan kenyataan baik kenyataan dalam masyarakat maupun kenyataan mengenai kemampuan pelaksana kegiatan, waktu yang tersedia, kesempatan, dan keterampilan para pelaksana.
·         Partisipasi kritis-korektif-konstruktif berarti keterlibatan yang dilakukan dengan mengkaji suatu bentuk kegiatan, menunjukkan kekurangan atau kesalahan dan memberikan alternatif yang lebih baik.
Agar partisipasi itu dapat dilakukan dan berguna, ada beberapa hal yang harus dipenuhi, antara lain adalah sebagai berikut.
·         kesediaan untuk ikut memikul beban dan akibat kegiatan atau usaha bersama yang berupa tenaga, harta, dan bea, serta kesediaan untuk menikmati hasil kegiatan bersama itu;
·          kemauan dan kemampuan untuk ambil bagian dalam salah satu atau beberapa tahap dalam proses kegiatan tertentu, dalam satu atau beberapa aspek tertentu;
·         kemauan dan kemampuan untuk memahami seluk beluk usaha bersama yang sedang atau akan dilakukan.
2.      Menerapkan Budaya Politik Partisipatif
Budaya politik partisipan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan demokrasi yang sehat. Beberapa sikap dan perbuatan yang demokratis dalam kehidupan sehari-hari, yaitu sebagai berikut.
a.       Menghindari sikap angkuh, mau menang sendiri, mementingkan diri sendiri dan kelompok, keras kepala, ekstrem, dan meremehkan orang lain.
b.      Membina dan membiasakan sikap perilaku demokratis, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, dan tenggang rasa.
Menurut S. Yudohusodo, untuk menerapkan budaya politik partisipatif ada empat hal yang harus dilakukan, yaitu sebagai berikut.
a.       Mengembangkan budaya mengajukan pendapat dan berargumentasi secara santun dalam semangat egalitarian.
b.      Mengembangkan budaya pengambilan putusan secara terbuka dan demokratis, serta mengembangkan sportivitas dalam berpolitik.
c.       Membiasakan proses rekrutmen kader secara transparan berdasarkan kualifikasi yang tolok ukurnya diketahui secara luas.
d.      Mengembangkan budaya keterbukaan. Warga negara dapat menampilkan budaya politiknya dalam wujud perilaku politik. Contoh perilaku politik warga negara yang merupakan perwujudan dari budaya politik partisipatif, antara lain adalah sebagai berikut.
a)        mengikuti pemilihan umum;
b)         mengikuti berbagai jajak pendapat;
c)        mengikuti rapat, musyawarah, dialog, debat publik dan sebagainya yang berkaitan dengan masalah bersama;
d)       melaksanakan demokrasi secara damai, baik dalam bentuk penolakan maupun dukungan;
e)        memberi masukan, pendapatan, saran, dan kritik terhadap pemerintahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar